Ketahuilah anak-ku
Rumah ini rumah singgah
Kuburan adalah rumah abadimu
dimana blatung akan menggerogoti jasadmu
Keelokan tubuhmu pun kini hanya TONG-TAI yang berjalan
Reputasimu, kebanggaanmu, kemegahanmu & kesombonganmu
hanya menggelapkan mata batinmu dari memandang Allah
Ingatlah anak-ku
Setiap debu dari nafas kehidupan rumah ini
ada hitungan di hadapan-Nya
Semua dipertanggungjawabkan
Jadi setiap laku lampah hidup ini
hanya sebagai sarana mengabdi
berjalan melaksanakan "Darmaning Satrio"
Batu ini keras anak-ku
namun dapat dipahat indah penuh tuah
jangan hatimu lebih keras dari batu ini
Cukup batu nisan indah yang tak bisa dipakai si empunya ini
sebagai "kaca benggolo" bagi hatimu
Yogya, 28 Mei 2007
Bapakmu
BSW Adjikoesoemo
Bait demi bait tulisan penuh makna itu terpahat pada Tetenger terbuat dari batu marmer berbentuk kotak bersegi panjang lebar 70 cm, tinggi satu tengah meter yang ditaruh di pojok ruang tamu rumah Adjiekoesoemo di perumahan Griya Mahkota, Jl Godean Yogyakarta. Di sisi sebelah kiri batu tersebut terdapat tulisan:
Cherrie Wijnschenk
Geb, 9 Juni 1857
Overl, 31 December 1934
Cherrie Wijnschenk inilah si empunya tetenger terbuat dari marmer, seorang warga Belanda yang tidak sempat memakai batu nisan tersebut untuk pusaranya. Justru Adji-lah yang berhasil memanfaatkan batu tersebut sebagai pepeling atau pengingat untuk anak-anaknya bahwa semua kekayaan, harta benda yang dimilikinya hanya sebagai alat untuk mengabdi kepada Sang Khalik, bukan sebagai tujuan.
"Dalam ceramah2 agama saya sering bilang bahwa kita umat Islam perlu kaya, termasuk sufi pun harus kaya. Tapi sekali-kali tidak boleh hati kita tertambat pada harta kekayaan kita. Nah supaya tidak dibilang 'jarkoni' (isa ngajari ora bisa nglakoni/bisa mengajari tetapi tidak bisa menjalani) maka saya ingin membuktikan saya pun juga bisa kaya. Tapi tujuan kita hidup bukan itu, melainkan hanya sebagai alat untuk berjihad di jalan Allah," kilah Adji suatu ketika pada penulis. Memang setiap malam Rabu dan Jumat, Adji selalu memimpin zikir yang diawali dengan memberi taushiyah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan amalan tasawuf.
Saya jadi teringat pada guru ruhaniku, seorang mursid thoriqoh di Jatim yang selalu menekankan pada jutaan murid-muridnya untuk untuk selalu memperbanyak mengingat Allah, dzikron katsiron, menjaga keseimbangan antara jasmani dan ruhani, antara syariat dan hakekat, antara dhohir dan batin, antara fikir dan rasa, antara aqal dan qalbu, antara iman dan kemanusiaan untuk menuju sempurnanya hidup.
Selama ini mungkin masih banyak orang awam yang berpikir bahwa tasawuf hanya memikirkan akhirat dan menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi/fana. Mereka pekerjaannya hanya berzikir, munajat terus pada Allah agar dapat makrifatullah. Namun pikiran itu tidaklah benar. Karena, paling tidak yang saya lihat sendiri, guru saya meskipun dikenal sebagai mursid tasawuf tetapi juga memiliki kekayaan yang nilainya mungkin ratusan miliar rupiah, mulai dari aset gedung- gedung di pondok pesantrennya yang luasnya mencapai puluhan hektar sampai menjadi komisaris di beberapa perusahaan, termasuk perusahaan Mitra Sigaret PT HM Sampurna. Di Cilegon konon juga ada seorang mursid thoriqoh yang memiliki perusahaan baja bernilai triliunan.
Lalu makna apa yang bisa dipetik dari "pepeling" yang dibuat oleh Adjikoesoemo?
Nasihat Luqman untuk Anaknya
Tanbeh atau pengingat yang ditulis sohib Adji tersebut mengingatkan saya pada nasihat Luqman Hakim yang hidup di zamannya Nabiyulloh Dawud As. Dalam kitab "Al Munabbihat Lil isti'aadi Liyaumil Ma'aad (Pengingat untuk persiapan hari kiamat) yang disusun oleh Syihabuddin Ahmad dijelaskan pada suatu saat Luqman memanggil anaknya untuk dinasihati.
Bunyi nasihat Luqman itu, "Wahai anakku sesungguhnya pada manusia itu terbagi menjadi 3 bagian, yaitu : 1 Sepertiga bagi Allah, 2. Sepertiga bagi dirinya sendiri, 3. Sepertiga untuk ulat- ulat/blatung."
Marilah kita selami nasihat luqman yang kata-katanya mengandung hikmah-hikmah yang sangat dalam sehingga ia mendapat julukan Al Hakim dan namanya diabadikan menjadi sebuah surat dalam Alquran (surat ke-31). Mengingat pembahasan disini lebih banyak mengupas makna batin, mungkin agak sedikit berat untuk memahaminya.
1. Sepertiga untuk ulat-ulat.
Yang dimaksud sepertiga untuk ulat yaitu 7 unsur jasmani (bulu, kulit, daging, darah, otot, tulang, sumsum) adalah bagiannya blatung dalam tanah. Dalam Alquran diterangkan bahwa manusia itu diciptakan dari tanah dan akan dikembalikan ke induknya yaitu tanah. Dan dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa tanah itu adalah ibumu. Jadi kita akan dikembalikan ke ibu kita. "Dari bumi Aku ciptakan kamu semua dan kepada bumi Aku kembalikan kamu semua (Toha/S.20/55).
Jadi, ingatlah bumi itu adalah ibumu yang akan menceriterakan semua apa yang kamu berbuat, kembali kepada induknya, itulah jasmani. Makanya Sang Maha Pencipta memerintahkan kamu untuk menghormati ibumu, "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi (S Al Arof, ayat 56))"
Kata ibumu (bumi), "Kamu dulu suci tak berdosa, sekarang kamu kembali kepadaku. Dan dulu kamu berbuat jahat berada di punggungku berani terhadap Allah, kau diberi nikmat tidak syukur, diberi kekuatan katamu itu kekuatanmu sendiri"..
2. Sepetiga bagi manusia
Bagian sepertiga yang kembali ke manusia itu amalnya dan hanya inilah yang dimiliki oleh manusia nanti di akherat. Dalam surat Hamim Assajadah, Alloh berfirman, "barang siapa yang beramal baik itu untuk (kembali) pada dirinya sendiri dan barang siapa yang durhaka maka durhakanya menimpa atas dirinya sendiri. Tuhanmu tidak menganiaya kepada hambanya".
Semua amal sholeh (amal yang baik, yang indalloh, yang mukhlis) seperti amal syukur, sabar, sholat, zakat dan lainnya maupun amal buruk semuanya akan kembali kepada dirinya sendiri. Kecuali masalah puasa. Sebab puasa sudah diklaim oleh Alloh ta'ala :"Puasamu itu untuk Aku, selainnya ambillah".
Jadi apakah kita itu memilih kenikmatan (yang ditimbulkan dari amal sholeh) atau kesengsaraan (dari amal buruk), semua terserah kita, kita punya akal untuk memilih. Lainnya tidak ada yang bisa dimiliki (karena ruh sudah menjadi hak Alloh, sedangkan dunia harus ditinggalkan).
Jadi jelas sudah bahwa kesempatan kita untuk beramal saleh, sebagai satu-satunya yang akan kita miliki di akherat, hanyalah waktu di dunia ini, maka kita harus cepat-cepat beramal saleh. Di akherat sudah tidak ada ibadah lagi, tidak ada sholat, zakat, puasa, haji dan seterusnya.
3. Sepertiga bagi Allah
Yang dimaksud 1/3 bagi Allah itu ruh. Ruh lah yang akan kembali kepada Allah. Nah sebelum jasmani berpisah dengan ruh, kita harus berusaha mengetahui sempurnanya mati. Hidupnya ruh di dunia itu ibarat air yang turun dari langit sebagaimana firman Allah S Yunus ay 24, "Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit".
Air yang turun dari langit sebelum menyentuh bumi adalah air suci bersih, setelah menyentuh tanah lalu berjalan jauh campur dengan bermacam-macam kotoran, ada yang melalui sungai- sungai besar, sungai-sungai kecil. Begitu juga dengan ruhani, ini sama dengan bumimu, Disitu larut macam-macam dosa.Ada yang lewat sungai mata, sungai kuping, sungai tangan, sungai kaki, sungai lisan. Yang melalui sungai lisan inilah yang paling banyak dilewati dosa, wujud bisa mengguncing, memfitnah, berkata kotor.
Mengingat masalah ruh adalah masalah yang sangat rumit, kita dilarang membahas zat ruh. Imam Al Ghozali di dalam kitab Ihya Ulumuddin mengingatkan bahwa yang diperbolehkan hanyalah membahas sifat-sifatnya ruh. Seperti halnya kita dilarang berfikir tentang zat Allah, tapi tidak dilarang berpikir tentang sifat-sifat Allah, seperti sifat Rohman, Rohim, Adil dsb..
Rasululloh saw bersabda: "berpikirlah kamu tentang nikmat Allah tapi jangan kamu berfikir tentang zat Allah".. Jadi mengingat fikiran itu tidak mungkin mampu berfikir tentang zat Allah dan kalau dipaksakan akan rusak, maka janganlah kita memikirkan zat Allah. Karena sebagaimana firman Allah, "Amruhu min amri Robbii" (Ruh itu termasuk urusan Tuhanku".
Inilah sedikit makna yang bisa saya ambil dari pesan yang ditulis sohib saya, "Pepeling untuk Anakku" yang dipahatkan di batu marmer di rumahnya. Semoga hati kita dibukakan untuk bisa mengambil hikmah dari pepeling di atas. Amin. (ahmad suroso)
Sumber : maulhayat.blogspot.com/2008/01/pepeling-untuk-anakku.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar