Politik Pangan merupakan batu uji keberhasilan penguasa. Penguasa yang bijak menjadikan masalah pangan sebagai perioritas. Maka, Negara maju memberikan subsidi kepada petani dan menjamin pembelian hasil tani dengan harga pantas.
Sekarang ini harga komoditas pangan diseluruh dunia naik sekitar 75%. Menurut laporan FAO bulan Februari lalu Indonesia termasuk salah satu dari 36 negara yang mengalami krisis pangan. Permulaan krisis ini sudah Nampak nyata didepan mata kita dimana kualitas pangan untuk rakyat miskin sudah kian menurun.
Sementara itu, politik pangan yang dilaksanakan oleh pemerintahan SBY-Yusuf Kalla, terus menerus mencundangi para petani. Saya katakan mencundangi petani karena :
Pertama, petani sebagai penghasil beras, terus menerus “terpaksa dan dipaksa” menerima harga senyatanya bukan harga yang seharusnya, yaitu harga pokok pembelian (HPP) pemerintah saat terjadi panen raya.
Kedua, ini yang lebih kebangetan dan tidak masuk akal lagi. mengapa harga beras saja yang tidak diperlakukan secara tidak adil. Padahal ketika terjadi gejolak harga kedelai dan minyak goreng yang beberapa lalu terjadi, pemerintah tanggap dan cepat untuk melakukan stabilisasi. Sementara ketika harga gabah atau beras turun pemerintah diam seribu bahasa.
Malah Bulog sebagai sebuah intitusi pemerintah yang diberi tugas untuk melakukan pembelian gabah dari petani malah bermain mata dengan para kaki tangannya untuk mempermainkan harga gabah,
Dan kita tahu sama tahu, kaki tangan Bulog tersebut menjual ke Bulog dengan harga Harga Pokok Pembelian (HPP) sebesar Rp 2.575,- untuk gabah kering giling (GKG) dan Rp 2.000,- untuk gabah kering panen (GKP) yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara para tengkulak yang merupakan kaki tangan Bulog membeli gabah kering giling dari petani berkisar Rp 1.600,- s/d Rp 1.700,-. Padahal kita semua tahu, dana bulog untuk membeli gabah petani tersebut berasal dari APBN. Pada tahun 2007 yang lalu pemerintah telah mengalokasikan dana tak kurang dari 7 trilyun dikucurkan kepada Bulog untuk membeli gabah dari petani. Namun kenyataannya dana dari APBN tersebut malah dipakai oleh Bulog bukan untuk membeli langsung gabah dari petani tetapi Bulog membeli gabah petani lewat para tengkulak yang menjadi kaki tangannya tersebut.
Dan yang lebih lucu dan konyol adalah pernyataan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Ardiansyah Parman yang dimuat oleh media cetak pada 3 Maret yang lalu, bahwa "HPP hanya patokan bagi Bulog membeli beras atau gabah petani ketika harga di lapangan anjlok. Namun, bukan berarti petani harus menjual beras mengikuti HPP. Sekali lagi disini, bahwa tujuan pemerintah menetapkan HPP padi dan beras bukan untuk melindungi petani tetapi lebih sebagai alat untuk menyudutkan petani agar “terpaksa dan Dipaksa” untuk menerima harga yang senyatanya, bukan harga yang seharusnya.
Bukankah pemerintah ketika harga minyak dunia naik buru-buru menaikkan harga BBM ? Atau harga CPO dipasaran internasional para pengusaha perkebunan kelapa sawit menjualnya ke pasar internasional dan akibatnya harga minyak goreng di dalam negeri juga naik ? Dan juga ketika harga kedelai dipasar internasional naik, harga kedelai di dalam negeri juga melambung naik? Kemudian pemerintah memberikan subsidi pembelian kedelai dengan mengeluarkan KUPON PEMBELIAN KEDELAI?
Kenyataannya, ketika harga beras dunia mencapai USD 750 per ton atau setara Rp 6.900.000,- per ton ( kurs USD 1 = Rp 9.200,-). Sementara kini petani hanya bisa menjual beras ke Bulog dengan harga Rp 4.000.000,- per Ton. Mengapa Petani tidak boleh menikmati harga sesuai dengan harga di pasar internasional ? Berbuat apakah pemerintah dalam hal ini? Maukah pemerintah menaikkan HPP beras ? jelas tidak. Disinilah salah satu alasan penting perlunya UU Perlindungan Petani agar aturan main bisa jelas dan transparan.
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13/2007
1. Harga GKP (gabah kering panen) Rp2.000 per kg,
2. Harga GKG (gabah kering giling) Rp2.575 per kg,
4. Beras Rp 4.000 per kg. "
BULOG, Alat Untuk Menindas Petani ?
Pada peringatan ulang tahunnya yang ke-40 pada 10 Mei 2007 yang lalu, Perum Bulog menggelar sejumlah acara yang sangat monumental. Salah satu adalah orasi profesi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai mantan Kabulog. Jusuf Kalla mengatakan kini saatnya Perum Bulog melepaskan fungsi dan peranannya sebagai lembaga yang bersifat monopoli. Alasannya, "Dahulu di zaman Orde Baru memang digunakan sistem yang sentralistis, semua serba diatur, semua serba Jakarta, sehingga Bulog waktu itu bisa melakukan monopoli untuk semua kebutuhan pokok rakyat. Sekarang, sistemnya jadi desentralisasi dan mengikuti selera pasar, sehingga tidak dibolehkan lagi ada monopoli."
Sekilas pernyataan Wakil Presiden itu ada benarnya, namun jika dikaji lebih lanjut ternyata substansinya perlu diluruskan pemahamannya, khususnya menyangkut fungsi dan peranan Bulog sebagai lembaga yang bersifat monopoli demi kepentingan dan hajat hidup masyarakat banyak. Dalam mekanisme pasar meskipun praktik monopoli tidak diperkenankan dilakukan, selalu ada tempat dan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu, khususnya menyangkut kepentingan hidup rakyat banyak dan untuk kepentingan stabilitas politik dan ekonomi negara.
Fungsi dan peranan Bulog sebagai lembaga yang memonopoli pengadaan beras bagi kepentingan masyarakat, ternyata masih dibenarkan undang-undang. Hal itu terlihat dalam UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 50 menyebutkan antara lain, "Yang dikecualikan dari undang-undang ini adalah perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Pasal 51 menyebutkan, "Monopoli dan atau pemusatan kekuatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah."
Di negara maju lembaga atau badan semacam Bulog masih banyak diterapkan dalam kebijakan pro rakyatnya. Seperti di AS, Jepang, dan Eropa Barat. Di Jepang badan ini khusus mengenai beras. Negara membeli beras petani untuk menjamin tersedianya keperluan pangan, dan juga untuk menjamin pemasaran produksi hasil tani rakyatnya demi meningkatkan daya beli petani, agar kemakmuran dan kesejahteraan petani dapat terjamin.
Dari kenyataan tersebut jelaslah undang-undang larangan praktik monopoli tidak sepenuhnya melarang adanya monopoli.
Di negara maju yang menerapkan sistem liberal dan mekanisme pasar murni, seperti di Jepang, AS, dan Eropa Barat, masih dibenarkan praktik monopoli yang dilakukan tidak melalui perusahaan tapi melalui badan khusus yang ditunjuk dan dibentuk negara. Sebagai ilustrasi bisa kita lihat di AS, badan khusus dibentuk untuk membeli hasil limpahan produk petani, kemudian disimpan untuk menjaga stabilitas harga.
Persediaan yang melimpah di gudang Bulog AS, kemudian diekspor ke negara-negara berkembang sebagai bantuan pangan dengan harga sangat murah, seperti kasus impor beras Indonesia dari Jepang tahun 1970-an dalam program Kennedy Round oleh Jepang. Bahkan, adakalanya AS menghibahkan hasil tani rakyatnya, yang secara ekonomis memang tidak menguntungkan, namun secara politis AS banyak mendapat benefit, khususnya dalam jangka panjang (Program PL-480).
Tugas dan Fungsi
Mustafa Abubakar, sebagai Kabulog yang baru, pada kesempatan tersebut mengatakan, tugas pokok Bulog adalah menjamin tersedianya beras bagi masyarakat dan menjamin stabilitas harga bagi petani dan konsumen. Untuk melaksanakan kedua fungsi itu Mustafa berjanji tidak akan membatasi penerimaan gabah dari petani, dan mengaktifkan 131 unit pengolahan beras di seluruh Indonesia.
Jika gudangnya kurang, Bulog juga menyewa gudang-gudang beras yang tidak lagi dibiayai pemerintah. Janji lain Mustafa sebagaimana dimuat Adil No 16, 17-30 Mei 2007, adalah fungsi pelayanan publik (PSO) Perum Bulog dengan bisnis komersial akan dipisahkan. Bulog akan membentuk dua anak perusahaan yang masing-masing bergerak di bidang jasa pangan serta industri perdagangan. Untuk meraih untung, anak usaha itu akan ditempatkan pada divisi regional dan subdivisi regional yang berpotensi menggarap komoditas seperti gula, kakao, dan jagung. Soal biaya akan ditanggung sepenuhnya oleh Bulog sendiri.
Namun kalau dicermati, fungsi pokok Bulog tersebut ada yang kurang dan sering dilupakan, yaitu fungsi menjamin peningkatan pendapatan petani, dalam meningkatkan daya beli mereka. Padahal sekitar 60 persen penduduk kita masih berada di sektor pertanian, sehingga meningkatnya daya beli petani secara otomatis juga meningkatnya daya beli rakyat Indonesia.
Pada masa Orde Baru Bulog masih bebas melakukan fungsi pokoknya secara monopoli untuk sembilan bahan kebutuhan pokok karena tidak adanya undang-undang antimonopoli. Pada masa Habibie, lahirlah UU No 5/1999 tapi status dan tugas pokok Bulog tidak berubah.
Namun, yang sangat memprihatinkan justru ketika Megawati menjadi presiden, keluarlah peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2003 tentang Status dan Fungsi Utama Bulog. Ironisnya, mulai saat itu, fungsi pokok Bulog sebagai stabilisator harga komoditas pertanian dipangkas. Statusnya pun menjadi perusahaan umum, atau BUMN. Bulog, sebagai badan usaha diarahkan meraih laba di bidang pangan. Peranan sebagai stabilisator harga kemudian dikendalikan oleh Departemen Perdagangan.
Di sini mulai timbul dua fungsi saling bertentangan. Perubahan nama dari Bulog, yaitu singkatan dari Badan Urusan Logistik menjadi Perum Bulog, justru mengacaukan pengertian lembaga ini sendiri. Bagaimana nama Perum sebagai singkatan dari Perusahaan Umum digabung secara tidak pas dengan Badan Urusan Logistiknya Negara? Ke depan pemerintah mesti memutuskan memilih satu yang terbaik di antara keduanya, apakah ingin tetap sebagai Badan Urusan Logistik atau benar-benar menjadi perusahaan. Namanya, misalnya, menjadi Perum Perberasan atau Perum Beras Rakyat, sesuai Pasal 51 UU No 5/1999, yang diberi tugas memonopoli beras, tetapi harus didukung oleh UU khusus.
Namun, yang terbaik di antaranya adalah perlunya Bulog kembali ke fitrah asalnya, yaitu sebagai institusi negara yang mengurusi pengamanan persediaan beras dan stabilisasi harga, juga untuk meningkatkan daya beli petani, agar berbagai permasalahan yang timbul akibat ketidakjelasan fungsi dan tugas, bisa terselesaikan secara nyata dan mendasar.
Beras saat ini merupakan komoditi strategis karena masih menjadi makanan pokok rakyat Indonesia dan lebih dari 60 persen penduduk kita berada di sektor pertanian ini. Peranan Bulog sebagai lembaga negara yang melakukan monopoli untuk fungsi pokok seperti ini masih dibenarkan oleh undang-undang karena menyangkut keperluan hajat hidup rakyat banyak sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Di sisi lain dan ke depan Bulog perlu juga menambah fungsinya dengan ikut menciptakan peningkatan pendapatan dan daya beli petani sehingga akan memberi multiplier effect positif bagi perkembangan sektor kehidupan lainnya.
Monopoli beras tetap diperlukan sebagaimana saat ini masih saja diterapkan oleh negara maju. Indonesia telah kecolongan dengan membebaskan bea masuk impor beras 0 persen karena kesalahan diplomasi dalam perundingan dengan IMF akibat tekanan negara-negara maju. Akibatnya, banyak petani gulung tikar, dan berpaling dari usaha tani ke sektor bangunan atau beralih ke tanaman hortikultura dan perkebunan, karena kalah bersaing dengan beras impor.
Selain itu biaya berbagai bahan baku untuk sektor pertanian juga meroket, ditambah dengan semakin banyaknya infrastruktur pertanian yang rusak. Revitalisasi pertanian yang dijanjikan SBY pada awal terpilihnya sebagai presiden, hingga saat ini masih jauh dari harapan. Kini saatnya Bulog tampil membantu petani melalui fungsi pokoknya tersebut.
Ke depan, pemerintah perlu juga menciptakan sinkronisasi kebijakan di bidang perindustrian dan perdagangan, dengan tidak membiarkan mengekspor berbagai komoditi primer yang sangat dibutuhkan untuk keperluan konsumen dan perkembangan industri domestik.
Seperti terjadi dengan kasus kelangkaan minyak goreng bagi konsumen, dan gas bagi keperluan industri keramik dan pupuk, misalnya. Pemerintah harus mengupayakan agar konsumsi dan kebutuhan industri dalam negeri terpenuhi lebih dahulu baru kemudian diekspor. Jika produksi dalam negeri melimpah, perlu diperkuat cadangan untuk menghindari masa paceklik oleh lembaga sejenis Bulog ini, barulah sisanya diekspor.
Bila Bulog tiadak bisa mewujudkan fungsi dan tugasnya, maka Bulog tak lebih sebagai “alat” yang dipergunakan oleh penguasa untuk melakukan penindasan terhadap Petani.