Rabu, April 09, 2008

PETANI KORBAN POLITIK PANGAN PENGUASA

Politik Pangan merupakan batu uji keberhasilan penguasa. Penguasa yang bijak menjadikan masalah pangan sebagai perioritas. Maka, Negara maju memberikan subsidi kepada petani dan menjamin pembelian hasil tani dengan harga pantas.

Sekarang ini harga komoditas pangan diseluruh dunia naik sekitar 75%. Menurut laporan FAO bulan Februari lalu Indonesia termasuk salah satu dari 36 negara yang mengalami krisis pangan. Permulaan krisis ini sudah Nampak nyata didepan mata kita dimana kualitas pangan untuk rakyat miskin sudah kian menurun.

Sementara itu, politik pangan yang dilaksanakan oleh pemerintahan SBY-Yusuf Kalla, terus menerus mencundangi para petani. Saya katakan mencundangi petani karena :

Pertama, petani sebagai penghasil beras, terus menerus “terpaksa dan dipaksa” menerima harga senyatanya bukan harga yang seharusnya, yaitu harga pokok pembelian (HPP) pemerintah saat terjadi panen raya.

Kedua, ini yang lebih kebangetan dan tidak masuk akal lagi. mengapa harga beras saja yang tidak diperlakukan secara tidak adil. Padahal ketika terjadi gejolak harga kedelai dan minyak goreng yang beberapa lalu terjadi, pemerintah tanggap dan cepat untuk melakukan stabilisasi. Sementara ketika harga gabah atau beras turun pemerintah diam seribu bahasa.

Malah Bulog sebagai sebuah intitusi pemerintah yang diberi tugas untuk melakukan pembelian gabah dari petani malah bermain mata dengan para kaki tangannya untuk mempermainkan harga gabah,

Dan kita tahu sama tahu, kaki tangan Bulog tersebut menjual ke Bulog dengan harga Harga Pokok Pembelian (HPP) sebesar Rp 2.575,- untuk gabah kering giling (GKG) dan Rp 2.000,- untuk gabah kering panen (GKP) yang ditetapkan oleh pemerintah. Sementara para tengkulak yang merupakan kaki tangan Bulog membeli gabah kering giling dari petani berkisar Rp 1.600,- s/d Rp 1.700,-. Padahal kita semua tahu, dana bulog untuk membeli gabah petani tersebut berasal dari APBN. Pada tahun 2007 yang lalu pemerintah telah mengalokasikan dana tak kurang dari 7 trilyun dikucurkan kepada Bulog untuk membeli gabah dari petani. Namun kenyataannya dana dari APBN tersebut malah dipakai oleh Bulog bukan untuk membeli langsung gabah dari petani tetapi Bulog membeli gabah petani lewat para tengkulak yang menjadi kaki tangannya tersebut.

Dan yang lebih lucu dan konyol adalah pernyataan Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Ardiansyah Parman yang dimuat oleh media cetak pada 3 Maret yang lalu, bahwa "HPP hanya patokan bagi Bulog membeli beras atau gabah petani ketika harga di lapangan anjlok. Namun, bukan berarti petani harus menjual beras mengikuti HPP. Sekali lagi disini, bahwa tujuan pemerintah menetapkan HPP padi dan beras bukan untuk melindungi petani tetapi lebih sebagai alat untuk menyudutkan petani agar “terpaksa dan Dipaksa” untuk menerima harga yang senyatanya, bukan harga yang seharusnya.

Berdasarkan perhitungan ini petani dengan luas garapan 1 Ha hanya menikmati pendapatan bersih per bulannya Rp 3.830.000,- dibagi 4 bulan = Rp 957.500,- Pendapatan ini masih jauh dibawah UMR di Yogyakarta.

Ketiga, sekarang ini terjadi perbedaan harga pasar beras dalam negeri dengan harga beras di pasar internasional (disparitas harga) mencapai Rp 1.800,- Sedangkan harga GKG ditingkat petani sekarang ini berkisar antara Rp 1.600,- s/d Rp 1.700,- Melihat fakta dilapangan seperti ini, lantas logika ekonomi dan matematika mana yang bisa menjelaskan KETIDAKADILAN ini.

Bukankah pemerintah ketika harga minyak dunia naik buru-buru menaikkan harga BBM ? Atau harga CPO dipasaran internasional para pengusaha perkebunan kelapa sawit menjualnya ke pasar internasional dan akibatnya harga minyak goreng di dalam negeri juga naik ? Dan juga ketika harga kedelai dipasar internasional naik, harga kedelai di dalam negeri juga melambung naik? Kemudian pemerintah memberikan subsidi pembelian kedelai dengan mengeluarkan KUPON PEMBELIAN KEDELAI?

Kenyataannya, ketika harga beras dunia mencapai USD 750 per ton atau setara Rp 6.900.000,- per ton ( kurs USD 1 = Rp 9.200,-). Sementara kini petani hanya bisa menjual beras ke Bulog dengan harga Rp 4.000.000,- per Ton. Mengapa Petani tidak boleh menikmati harga sesuai dengan harga di pasar internasional ? Berbuat apakah pemerintah dalam hal ini? Maukah pemerintah menaikkan HPP beras ? jelas tidak. Disinilah salah satu alasan penting perlunya UU Perlindungan Petani agar aturan main bisa jelas dan transparan.

Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 13/2007

1. Harga GKP (gabah kering panen) Rp2.000 per kg,

2. Harga GKG (gabah kering giling) Rp2.575 per kg,

4. Beras Rp 4.000 per kg. "

BULOG, Alat Untuk Menindas Petani ?

Pada peringatan ulang tahunnya yang ke-40 pada 10 Mei 2007 yang lalu, Perum Bulog menggelar sejumlah acara yang sangat monumental. Salah satu adalah orasi profesi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai mantan Kabulog. Jusuf Kalla mengatakan kini saatnya Perum Bulog melepaskan fungsi dan peranannya sebagai lembaga yang bersifat monopoli. Alasannya, "Dahulu di zaman Orde Baru memang digunakan sistem yang sentralistis, semua serba diatur, semua serba Jakarta, sehingga Bulog waktu itu bisa melakukan monopoli untuk semua kebutuhan pokok rakyat. Sekarang, sistemnya jadi desentralisasi dan mengikuti selera pasar, sehingga tidak dibolehkan lagi ada monopoli."

Sekilas pernyataan Wakil Presiden itu ada benarnya, namun jika dikaji lebih lanjut ternyata substansinya perlu diluruskan pemahamannya, khususnya menyangkut fungsi dan peranan Bulog sebagai lembaga yang bersifat monopoli demi kepentingan dan hajat hidup masyarakat banyak. Dalam mekanisme pasar meskipun praktik monopoli tidak diperkenankan dilakukan, selalu ada tempat dan pengecualian untuk kasus-kasus tertentu, khususnya menyangkut kepentingan hidup rakyat banyak dan untuk kepentingan stabilitas politik dan ekonomi negara.

Fungsi dan peranan Bulog sebagai lembaga yang memonopoli pengadaan beras bagi kepentingan masyarakat, ternyata masih dibenarkan undang-undang. Hal itu terlihat dalam UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 50 menyebutkan antara lain, "Yang dikecualikan dari undang-undang ini adalah perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku."

Pasal 51 menyebutkan, "Monopoli dan atau pemusatan kekuatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah."

Di negara maju lembaga atau badan semacam Bulog masih banyak diterapkan dalam kebijakan pro rakyatnya. Seperti di AS, Jepang, dan Eropa Barat. Di Jepang badan ini khusus mengenai beras. Negara membeli beras petani untuk menjamin tersedianya keperluan pangan, dan juga untuk menjamin pemasaran produksi hasil tani rakyatnya demi meningkatkan daya beli petani, agar kemakmuran dan kesejahteraan petani dapat terjamin.

Dari kenyataan tersebut jelaslah undang-undang larangan praktik monopoli tidak sepenuhnya melarang adanya monopoli.

Di negara maju yang menerapkan sistem liberal dan mekanisme pasar murni, seperti di Jepang, AS, dan Eropa Barat, masih dibenarkan praktik monopoli yang dilakukan tidak melalui perusahaan tapi melalui badan khusus yang ditunjuk dan dibentuk negara. Sebagai ilustrasi bisa kita lihat di AS, badan khusus dibentuk untuk membeli hasil limpahan produk petani, kemudian disimpan untuk menjaga stabilitas harga.

Persediaan yang melimpah di gudang Bulog AS, kemudian diekspor ke negara-negara berkembang sebagai bantuan pangan dengan harga sangat murah, seperti kasus impor beras Indonesia dari Jepang tahun 1970-an dalam program Kennedy Round oleh Jepang. Bahkan, adakalanya AS menghibahkan hasil tani rakyatnya, yang secara ekonomis memang tidak menguntungkan, namun secara politis AS banyak mendapat benefit, khususnya dalam jangka panjang (Program PL-480).

Tugas dan Fungsi

Mustafa Abubakar, sebagai Kabulog yang baru, pada kesempatan tersebut mengatakan, tugas pokok Bulog adalah menjamin tersedianya beras bagi masyarakat dan menjamin stabilitas harga bagi petani dan konsumen. Untuk melaksanakan kedua fungsi itu Mustafa berjanji tidak akan membatasi penerimaan gabah dari petani, dan mengaktifkan 131 unit pengolahan beras di seluruh Indonesia.

Jika gudangnya kurang, Bulog juga menyewa gudang-gudang beras yang tidak lagi dibiayai pemerintah. Janji lain Mustafa sebagaimana dimuat Adil No 16, 17-30 Mei 2007, adalah fungsi pelayanan publik (PSO) Perum Bulog dengan bisnis komersial akan dipisahkan. Bulog akan membentuk dua anak perusahaan yang masing-masing bergerak di bidang jasa pangan serta industri perdagangan. Untuk meraih untung, anak usaha itu akan ditempatkan pada divisi regional dan subdivisi regional yang berpotensi menggarap komoditas seperti gula, kakao, dan jagung. Soal biaya akan ditanggung sepenuhnya oleh Bulog sendiri.

Namun kalau dicermati, fungsi pokok Bulog tersebut ada yang kurang dan sering dilupakan, yaitu fungsi menjamin peningkatan pendapatan petani, dalam meningkatkan daya beli mereka. Padahal sekitar 60 persen penduduk kita masih berada di sektor pertanian, sehingga meningkatnya daya beli petani secara otomatis juga meningkatnya daya beli rakyat Indonesia.

Pada masa Orde Baru Bulog masih bebas melakukan fungsi pokoknya secara monopoli untuk sembilan bahan kebutuhan pokok karena tidak adanya undang-undang antimonopoli. Pada masa Habibie, lahirlah UU No 5/1999 tapi status dan tugas pokok Bulog tidak berubah.

Namun, yang sangat memprihatinkan justru ketika Megawati menjadi presiden, keluarlah peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2003 tentang Status dan Fungsi Utama Bulog. Ironisnya, mulai saat itu, fungsi pokok Bulog sebagai stabilisator harga komoditas pertanian dipangkas. Statusnya pun menjadi perusahaan umum, atau BUMN. Bulog, sebagai badan usaha diarahkan meraih laba di bidang pangan. Peranan sebagai stabilisator harga kemudian dikendalikan oleh Departemen Perdagangan.

Di sini mulai timbul dua fungsi saling bertentangan. Perubahan nama dari Bulog, yaitu singkatan dari Badan Urusan Logistik menjadi Perum Bulog, justru mengacaukan pengertian lembaga ini sendiri. Bagaimana nama Perum sebagai singkatan dari Perusahaan Umum digabung secara tidak pas dengan Badan Urusan Logistiknya Negara? Ke depan pemerintah mesti memutuskan memilih satu yang terbaik di antara keduanya, apakah ingin tetap sebagai Badan Urusan Logistik atau benar-benar menjadi perusahaan. Namanya, misalnya, menjadi Perum Perberasan atau Perum Beras Rakyat, sesuai Pasal 51 UU No 5/1999, yang diberi tugas memonopoli beras, tetapi harus didukung oleh UU khusus.

Namun, yang terbaik di antaranya adalah perlunya Bulog kembali ke fitrah asalnya, yaitu sebagai institusi negara yang mengurusi pengamanan persediaan beras dan stabilisasi harga, juga untuk meningkatkan daya beli petani, agar berbagai permasalahan yang timbul akibat ketidakjelasan fungsi dan tugas, bisa terselesaikan secara nyata dan mendasar.

Beras saat ini merupakan komoditi strategis karena masih menjadi makanan pokok rakyat Indonesia dan lebih dari 60 persen penduduk kita berada di sektor pertanian ini. Peranan Bulog sebagai lembaga negara yang melakukan monopoli untuk fungsi pokok seperti ini masih dibenarkan oleh undang-undang karena menyangkut keperluan hajat hidup rakyat banyak sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Di sisi lain dan ke depan Bulog perlu juga menambah fungsinya dengan ikut menciptakan peningkatan pendapatan dan daya beli petani sehingga akan memberi multiplier effect positif bagi perkembangan sektor kehidupan lainnya.

Monopoli beras tetap diperlukan sebagaimana saat ini masih saja diterapkan oleh negara maju. Indonesia telah kecolongan dengan membebaskan bea masuk impor beras 0 persen karena kesalahan diplomasi dalam perundingan dengan IMF akibat tekanan negara-negara maju. Akibatnya, banyak petani gulung tikar, dan berpaling dari usaha tani ke sektor bangunan atau beralih ke tanaman hortikultura dan perkebunan, karena kalah bersaing dengan beras impor.

Selain itu biaya berbagai bahan baku untuk sektor pertanian juga meroket, ditambah dengan semakin banyaknya infrastruktur pertanian yang rusak. Revitalisasi pertanian yang dijanjikan SBY pada awal terpilihnya sebagai presiden, hingga saat ini masih jauh dari harapan. Kini saatnya Bulog tampil membantu petani melalui fungsi pokoknya tersebut.

Ke depan, pemerintah perlu juga menciptakan sinkronisasi kebijakan di bidang perindustrian dan perdagangan, dengan tidak membiarkan mengekspor berbagai komoditi primer yang sangat dibutuhkan untuk keperluan konsumen dan perkembangan industri domestik.

Seperti terjadi dengan kasus kelangkaan minyak goreng bagi konsumen, dan gas bagi keperluan industri keramik dan pupuk, misalnya. Pemerintah harus mengupayakan agar konsumsi dan kebutuhan industri dalam negeri terpenuhi lebih dahulu baru kemudian diekspor. Jika produksi dalam negeri melimpah, perlu diperkuat cadangan untuk menghindari masa paceklik oleh lembaga sejenis Bulog ini, barulah sisanya diekspor.

Bila Bulog tiadak bisa mewujudkan fungsi dan tugasnya, maka Bulog tak lebih sebagai “alat” yang dipergunakan oleh penguasa untuk melakukan penindasan terhadap Petani.

Minggu, Maret 16, 2008

Implikasi Proyeksi Penduduk Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan

Bagian Terakhir Dari Dua Tulisan

Ada dua pandangan yang berbeda mengenai pengaruh penduduk pada pembangunan.

Pertama, adalah pandangan pesimis yang berpendapat bahwa penduduk (pertumbuhan yang pesat) dapat mengantarkan dan mendorong terjadinya pengurasan sumber daya, kekurangan tabungan, kerusakan lingkungan, kehancuran ekologis yang kemudian dapat memunculkan masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan , keterbelakangan dan kelaparan (Ehrlich, 1981).

Kedua, adalah pandangan optimis yang berpendapat bahwa penduduk adalah asset yang memungkinkan untuk mendorong pengembangan ekonomi dan promosi inovasi teknologi dan institusional (Simon, Schumpeter, 1990) sehingga dapat mendorong perbaikan kondisi sosial. Kedua pandangan tersebut muncul sampai dengan tahun 1970 an.

Di kalangan pakar pembangunan telah ada konsensus bahwa laju pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak hanya berdampak buruk terhadap suplai bahan pangan, namun juga semakin membuat kendala bagi pengembangan tabungan, cadangan devisa, dan sumberdaya manusia (Meier, 1995). Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memperlambat pembangunan.

Pertama, akan mempersulit pilihan antara meningkatkan konsumsi saat ini dan investasi yang dibutuhkan untuk membuat konsumsi di masa mendatang semakin tinggi.

Kedua, di negara-negara yang penduduknya tergantung pada sektor pertanian, pertumbuhan penduduk mengancam keseimbangan antara sumberdaya alam yang langka dan penduduk. Sebagian karena pertumbuhan penduduk memperlambat perpindahan penduduk dari sektor pertanian yang rendah produktivitasnya ke sektor pertanian modern dan pekerjaan modern lainnya.

Ketiga, semakin sulit melakukan perubahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan perubahan ekonomi dan sosial. Tingginya kelahiran merupakan penyumbang utama bagi pertumbuhan kota yang cepat dan bermekarnya kota membawa masalah-masalah baru dalam menata maupun mempertahankan kesejahteraan warga kota.

Kajian Okita dan Kureda (1981) yang berusaha mengupas perubahan demografis (transisi) dan dampaknya terhadap pembangunan, khususnya pertumbuhan ekonomi, menunjukkan bahwa perubahan struktur penduduk usia kerja di Jepang, sebagai akibat pesatnya pertumbuhan penduduk berpengaruh pada perluasan kapasitas produksi per kapita dan mempunyai kontribusi cukup penting pada pertumbuhan ekonomi.

Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa perubahan demografis dapat menyebabkan kemiskinan. Tetapi diakui bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat dapat berimplikasi negatif pada pertumbuhan ekonomi dan upah serta kemiskinan jika tidak dibarengi oleh program pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar bagi publik.

Dan dari telaahan terhadap beberapa penelitian menjelang tahun 2000, diperoleh kesimpulan bahwa (1) pertumbuhan penduduk mempunyai hubungan kuat-negatif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, (2) penurunan pesat dari fertilitas memberikan kontribusi relevan terhadap penurunan kemiskinan. Penemuan baru ini memberikan kesan yang amat kuat, dibanding sebelumnya, bahwa fertilitas tinggi di negara berkembang selama ini ternyata merupakan salah satu sebab dari kemiskinan yang terus menerus, baik pada tingkat keluarga ataupun pada tingkat makro (Birdsal dan Sanding, 2001 dalam Sri Moertiningsih, 2005).

Berdasarkan temuan serta hasil proyeksi penduduk Indonesia yang memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan penduduk yang pada tahun 2005 sebesar 1,29% akan menurun menjadi 1,21 % pada tahun 2010 dan seterusnya konsisten mengalami penurunan hingga 0,82% pada tahun 2025, maka kita berharap secara konsisten pula tingkat kemiskinan di Indonesia akan semakin menurun. Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh menurunnya mortalitas akan memicu pertumbuhan, sedangkan yang disebabkan oleh peningkatan fertilitas akan menekan pertumbuhan ekonomi.

Namun hasil proyeksi yang sama menunjukkan bahwa proporsi penduduk usia kerja (15-64) relatif konstan yaitu 67% pada tahun 2005 berubah sedikit menjadi 68% pada tahun 2025, padahal proporsi penduduk usia kerja yang besar diharapkan menjadi sumber angkatan kerja yang produktif dan berkemampuan menabung tinggi dibanding penduduk muda (di bawah 15 tahun) dan penduduk tua (di atas 65 tahun) atau yang digolongkan bukan usia kerja.

Dengan pertumbuhan angkatan kerja Indonesia yang diperkirakan tetap tinggi (di atas 3%) hingga tahun 2025 maka tentu sangat berpengaruh terhadap tingkat pengangguran, mengingat penciptaan kesempatan kerja yang tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan angkatan kerja akibat laju pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan agak melambat.

Hal ini disebabkan oleh karena sumber-sumber pertumbuhan yang makin terbatas (sumber daya alam) serta kapasitas sumberdaya manusia yang tidak bisa dipacu dalam jangka pendek serta faktor teknologi dan inovasi yang juga terkendala karena Indonesia condong sebagai pengguna daripada pencipta teknologi. Terlebih jika dikaitkan dengan struktur umur penduduk Indonesia yang masih tergolong muda yang juga pada umur-umur muda (15-24) dari data yang ada memperlihatkan tingkat pengangguran yang lebih tinggi ( 14%) daripada umur di atas 25 tahun (4%).

Pandangan Lembaga Survai Internasional Tentang Perekonomian Indonesia 2050

Pada akhir 2005, Goldman Sach kembali melahirkan makalah dengan memperkenalkan istilah baru, yaitu negara-negara yang tergabung dalam N-11 (Next Eleven), yaitu kumpulan negara dengan jumlah penduduk besar di dunia dan berpotensi besar di belakang BRICs (Brasil, Rusia India dan Cina). Kelompok N-11 ini ialah Banglades, Mesir, Indonesia, Iran, Korea, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Turki, dan Vietnam. Kelompok itu memang mendapat perhatian dari berbagai khalayak.

Bahkan Pricewaterhousecoopers, sebuah kantor akuntan terbesar di dunia, melalui Chief Economist-nya di London, membuat prediksi berjudul The World in 2050 pada Maret 2006. Makalah itu secara khusus menyoroti kelompok khusus yang disebut E-7, The Emerging Seven,

yaitu negara berkembang kelompok tujuh, terdiri dari China, India, Brasil, Rusia, yang termasuk

BRICs, ditambah Indonesia, Meksiko, dan Turki yang kebetulan termasuk kelompok N-11. Kelompok E-7 ini diprediksikan akan melampaui kekuatan ekonomi negara-negara adidaya yang tergabung dalam G-7 pada tahun 2050. Namun, yang menarik adalah adanya hampir kesamaankedua makalah itu mengenai Indonesia.

Dalam tulisan terbaru "N-11: More Than an Acronym", (Global Economics Paper No 153, Maret

28, 2007), Goldman Sach membuat suatu prediksi perekonomian global pada tahun 2050. Dalam makalah itu Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan nomor tujuh di dunia setelah China, AS, India, Brasil, Meksiko, dan Rusia.

Prediksi mirip makalah The World in 2050 yang disiapkan Pricewaterhousecoopers, yang menempatkan Indonesia pada kekuatan nomor enam setelah AS, China, India, Jepang, dan Brasil. Dari kedua tulisan itu menarik disimak bahwa urutan enam besar perekonomian dunia bisa berbeda, tetapi urutan Indonesia keenam atau ketujuh relatif tidak banyak berbeda.

Pada tahun 2025, Goldman Sach memprediksi perekonomian Indonesia akan sebesar di antara

Kanada dan Turki. Dalam hal ini, PDB Indonesia akan menempati urutan ke-14, Kanada berada

di atasnya urutan ke-13. Dua puluh lima tahun kemudian, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ketujuh perekonomian dunia, melampaui Jepang, Inggris, Jerman, Nigeria, Perancis, Korea, dan Turki. Apakah prediksi itu memiliki alasan kuat?

Goldman Sach menggunakan tahun 2006 sebagai tahun dasar. Seberapa akurat data yang digunakan dibandingkan dengan data resmi yang dipublikasikan? Sebagai catatan, Goldman Sach juga menggunakan data ofisial, meski untuk tahun 2006 masih menggunakan angka prediksi.

Ternyata data tahun 2006 yang kita miliki menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dibandingkan dengan data Goldman Sach. Total PDB, misalnya, mencapai angka sekitar 366 miliar dollar AS dibandingkan dengan prediksi Goldman Sach sebesar 350 miliar dollar AS. Dengan angka lebih tinggi itu, pendapatan per kapita penduduk Indonesia mencapai 1.663 dollar AS tahun 2006, sedangkan menurut data Goldman Sach sebesar 1.508 dollar AS. Selain angka PDB, perbedaan angka pendapatan per kapita juga disebabkan jumlah penduduk yang menurut Goldman Sach sebesar 232 juta penduduk, lebih besar daripada angka sebenarnya.

Dengan perbedaan angka dasar itu, bisa dimengerti jika prediksi PDB Indonesia pada tahun 2010 akan mencapai 419 miliar dollar AS, sementara prediksi yang saya buat cukup konservatif pun menghasilkan angka sekitar 550 miliar dollar AS. Dengan prediksi semacam itu, bisa dimengerti mengapa prediksi Goldman Sach tentang Indonesia menjadi sedikit lebih rendah dibandingkan dengan prediksi yang dilakukan Pricewaterhousecooper.

Table A: Projected real growth in GDP and income per capita: 2005-50 (%pa)








Country

GDP in US $ Term

GDP in domestic currency or at PPPs

Population

GDP per capita at PPPs



India

7.6

5.2

0.8

4.3


Indonesia

7.3

4.8

0.6

4.2


China

6.3

3.9

0.1

3.8


Turkey

5.6

4.2

0.7

3.4


Brazil

5.4

3.9

0.7

3.2


Mexico

4.8

3.9

0.6

3.3


Russia

4.6

2.7

-0.5

3.3


S. Korea

3.3

2.4

-0.1

2.6


Canada

2.6

2.6

0.6

1.9


Australia

2.6

2.7

0.7

2


US

2.4

2.4

0.6

1.8


Spain

2.3

2.2

0

2.2


UK

1.9

2.2

0.3

2


France

1.9

2.2

0.1

2.1


Italy

1.5

1.6

-0.3

1.9


Germany

1.5

1.8

-0.1

1.9


Japan

1.2

1.6

-0.3

1.9


Source: PricewaterhouseCoopers GDP growth estimates (rounded to nearest 0.1%), population growth projections from the UN

Bagi yang skeptis, prediksi ini bisa dianggap membuang-buang waktu. Meskipun demikian, mengingat nama besar kedua institusi itu, rasanya kita perlu melihat secara lebih jernih apa yang mereka lakukan dengan apa yang sudah terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Tampaknya, apa yang dimunculkan kedua institusi itu kian menemukan bentuknya dalam "The World in 2007" (Economist edisi Desember 2006). Dalam edisi itu disebutkan ada 66 negara yang memiliki perekonomian terbesar di dunia, dengan data cukup rinci. Dalam daftar itu, Indonesia ada pada urutan ke-21 dengan menggunakan nilai tukar pasar (market exchange rate, bukan dengan PPP rate). Dibandingkan dengan data 2004, Indonesia masih di urutan ke-25-26 bersama Arab Saudi.

Dalam artikel itu disebutkan, PDB Arab Saudi tetap di urutan ke-26 meski terjadi kenaikan amat tinggi harga minyak bumi. Indonesia dalam tiga tahun telah dan akan melampaui Austria, Norwegia, Turki, dan Polandia. Tahun ini diprediksi PDB Indonesia akan mencapai sekitar 410 miliar dollar AS. Ini bisa membawa Indonesia pada urutan ke-20, melampaui Taiwan. Pada tahun 2010, seperti dikemukakan sebelumnya, Indonesia akan melampaui Swiss, Swedia, dan Belgia, dengan total PDB sekitar 550 miliar dollar AS. Jika ini terjadi, posisi ke-14 sebagaimana prediksi Goldman Sach tahun 2025, bukan tidak mungkin akan terlampaui bahkan sebelum akhir tahun 2020.

Semoga mimpi ini akan membawa kemakmuran lebih besar bagi penduduk Indonesia tanpa

terkecuali.

PROYEKSI PENDUDUK INDONESIA TAHUN 2000-2025 SEBUAH PELUANG DAN TANTANGAN

Bagian Pertama Dari Dua Tulisan

Untuk menganalisis implikasi proyeksi penduduk terhadap pembangunan berkelanjutan bidang ekonomi perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana hubungan pertumbuhan penduduk dengan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak sama dengan pertumbuhan ekonomi. Hubungan pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi sendiri memiliki tiga kemungkinan yakni menghambat, menunjang dan tidak ada hubungan

Penduduk pada hakekatnya dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi penduduk yang besar dan berkualitas akan menjadi asset yang sangat bermanfaat bagi pembangunan, namun sebaliknya penduduk yang besar tapi rendah kualitasnya justru akan menjadi beban yang berat bagi pembangunan.

Berbagai bukti empiris menunjukan bahwa kemajuan suatu bangsa sebagian besar ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia dan bukan oleh sumber daya alamnya. Negara-negara seperti Singapura, Hongkong, Korea, Taiwan, Jepang dan sebagian besar negara-negara maju di dunia dapat dikatakan miskin akan sumber daya alam, tapi mereka dapat berkembang dan maju dengan pesat karena mereka mempunyai kualitas sumber daya manusia yang tinggi dan tetap melakukan investasi pembangunan yang memadai dalam bidang ini.

Penduduk Indonesia kualitasnya saat ini masih sangat memprihatinkan. Berdasarkan penilaian UNDP, pada tahun 2003 kualitas sumber daya manusia yang diukur melalui Indeks Pembangunan Manusia (human development index) Indonesia mempunyai ranking yang sangat memprihatinkan, yaitu 112 dari 175 negara di dunia. Dalam kaitan ini program kependudukan dan keluarga berencana merupakan salah satu program investasi pembangunan jangka panjang yang mesti dilakukan sebagai landasan membangun SDM yang kokoh di masa mendatang.

Dalam proyeksi tersebut, asumsi Angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) ditetapkan bahwa secara nasional tahun 2015 sebagai waktu tercapainya NRR=1 atau setara dengan TFR=2,1. Target ini disesuaikan dengan visi keluarga berkualitas BKKBN dan sasaran Millenium Development Goals (MDGs). Setelah TFR mencapai 2,1 maka akan diupayakan konstan sampai dengan tahun 2025. Sebagaimana tingkat nasional, apabila TFR suatu provinsi sudah mencapai TFR=2,1 juga akan diupayakan konstan. Untuk provinsi-provinsi yang saat ini mempunyai TFR di bawah 2,1 maka angkanya akan diturunkan hingga mencapai 1,6. Sementara itu jika suatu provinsi telah memiliki TFR di bawah 1,6 angkanya akan dipertahankan atau diusahakan konstan.

Berkenaan dengan fenomena permasalahan serta hasil proyeksi penduduk hingga 2025 tersebut di atas maka untuk mencoba mengurai beberapa hal yang relevan diantaranya adalah i) meninjau sejauh mana integrasi aspek kependudukan ke dalam paradigma pembangunan berkelanjutan di Indonesia, khususnya di bidang ekonomi, (ii) mengupas pentingnya variabel penduduk dalam konteks perencanaan pembangunan bidang ekonomi meliputi persebaran penduduk, pengangguran, dan penanggulangan kemiskinan serta (iii)) implikasi hasil proyeksi untuk bidang-bidang ketenagakerjaan, dan kemiskinan.

Integrasi Aspek Kependudukan dalam Paradigma Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

Dalam praktek pembangunan di beberapa negara, setidaknya pada awal pembangunan, umumnya berfokus pada peningkatan produksi. Meskipun banyak varian pemikiran, pada dasarnya kata kunci dalam pembangunan adalah pembentukan modal. Oleh karena itu strategi pembangunan yang dianggap paling sesuai adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan mengundang modal asing dan melakukan industrialisasi.

Peranan sumber daya manusia (SDM) dalam strategi semacam ini hanyalah sebagai "instrumen" atau salah satu "faktor produksi " saja. Manusia ditempatkan dalam posisi instrumen dan bukan merupakan subjek dari pembangunan. Titik berat pada nilai produksi dan produktivitas telah mereduksi manusia sebagai penghambat maksimisasi kepuasan maupun maksimisasi keuntungan.

Alternatif lain dari strategi pembangunan manusia adalah apa yang disebut sebagai "people centered development" atau "putting people first" Artinya manusia (rakyat) merupakan tujuan utama dari pembangunan, dan kehendak serta kapasitas manusia merupakan sumberdaya yang paling penting. Dimensi pembangunan semacam ini jelas lebih luas daripada sekedar membentuk manusia profesional dan trampil sehingga bermanfaat dalam proses produksi.

Penempatan manusia sebagai subjek pembangunan menekankan pada pentingnya pemberdayaan manusia yaitu : kemampuan manusia untuk mengaktualisasikan segala potensinya. Kebalikan yang pertama yang menekankan bahwa kualitas manusia yang meningkat dijadikan prasyarat utama dalam proses produksi dan memenuhi tuntutan masyarakat industrial.

Berdasarkan hasil Proyeksi penduduk tahun 2000-2025 dengan asumsi tersebut di atas diperoleh beberapa hal penting yaitu :

1. Jumlah penduduk Indonesia selama 25 tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 205,8 juta pada tahun 2000 menjadi 273,7 juta pada tahun 2025. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia rata-rata pertahun selama periode 2000-2025 menunjukan kecenderungan terus menurun. Pada periode 2000-2025, penduduk Indonesia bertambah dengan kecepatan 1,36 persen per tahun. Pada periode 2020-2025 turun menjadi 0,98 persen per tahun. Turunnya laju pertumbuhan penduduk ini diakibatkan oleh turunnya angka kelahiran dan kematian. Namun penurunan angka kelahiran lebih cepat daripada penurunan angka kematian crude birth rate (CBR) turun dari 21 per 1000 penduduk pada awal proyeksi menjadi 15 per 1000 penduduk pada akhir periode proyeksi, sedangkan crude date rate (COR) tetap sekitar 7 per 1000 penduduk pada kurun waktu yang sama.

2. Persebaran penduduk Indonesia antar pulau dan antar provinsi tidak merata. Persentase penduduk Indonesia yang tinggal di Pulau Jawa terus menurun yaitu dari sekitar 58,9 persen pada tahun 2000 menjadi 55,4 persen pada tahun 2025. Sebaliknya persentase penduduk yang tinggal di pulau lain meningkat. Sebagai contoh, pulau Sumatera mengalami kenaikan dari 21 persen menjadi 23,1 persen selama periode proyeksi.

3. Persentase penduduk umur belum produktif (0-14 tahun) secara nasional menunjukan kecenderungan semakin menurun yaitu dari 30,7 persen pada tahun 2000 menjadi 22,8 persen pada tahun 2025. Sementara itu persentase penduduk usia produktif (15-64 tahun) meningkat dari 64,6 persen pada tahun 2000 menjadi 68,7 persen pada tahun 2025, dan mereka yang berusia 65 tahun ke atas (sudah tidak prodiktif) naik dari 4,7 persen menjadi 8,5 persen. Perubahan struktur umur ini mengakibatkan beban ketergantungan atau dependency ratio turun dari 54,7 persen pada tahun 2000 menjadi 45,6 persen pada tahun 2025.

Proyeksi Jumlah Penduduk 2000 – 2025 (Dalam Ribuan)

USIA

2000

2005

2008

2009

2010

2015

2020

2025

(0-14)

62.969,0

61.981,0

61266.6

61016.5

60777.4

61822.8

62413.7

62385.8

(15-64)

132.605,1

146280.9

154714.5

157496.8

160258.4

171067.3

180403.5

187715.7

(64-70+)

9.557,9

10942.4

11798.0

12119.4

12441.6

14682.3

18187.8

23117.7

Total

205132.0

219204.3

227779.1

230632.7

233477.4

247572.4

261005.0

273219.2

4. Terkait dengan perubahan dependency ratio, maka Indonesia akan mendapatkan demographic bonus (kondisi dimana dependency ratio berada pada tingkat yang terendah) selama 10 tahun yaitu antara tahun 2015 sampai 2025, dengan syarat TFR 2.1 atau NRR=1 dapat dicapai pada tahun 2015. Pada kurun waktu tersebut dependency ratio berada pada tingkat 0,4 sampai 0,5 atau disebut dengan "Window Opportunity".

5. Dengan asumsi penurunan fertilitas dan mortalitas serta perubahan struktur umur seperti diuraikan di atas, Indonesia akan mencapai "Replacement Level". (NRR=1) atau setara dengan TFR 2,1 pada tahun 2015. Beberapa provinsi yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali dan Sulawesi Utara sudah mencapai tingkat NRR=1, jauh sebelum tahun 2015 yaitu pada periode tahun 1996-1999. Pada akhir periode proyeksi hampir semua provinsi telah mencapai "Replacement Level".

6. Angka harapan hidup, diperkirakan meningkat dari 67.8 tahun pada periode 2000-2005 menjadi 73,6 tahun pada periode akhir proyeksi (2020-2025). Pada awal proyeksi, angka harapan hidup terendah terdapat di NTB (60,9 tahun) dan tertinggi di DI Yogyakarta (73,0 tahun). Pada akhir periode proyeksi, angka harapan hidup berkisar antara 70,8 hingga 75,8 tahun untuk provinsi yang sama seperti pada awal proyeksi.

Dengan hasil proyeksi tersebut berarti penduduk Indonesia dalam beberapa tahun mendatang akan terus meningkat jumlahnya. Hal ini dimungkinkan karena masih banyak jumlah perempuan dalam usia reproduksi sebagai akibat dari tingginya kelahiran di masa lalu.

Penduduk tidak lagi mengalami pertambahan (Zero Population Growth=ZPG) setelah dalam jangka waktu yang panjang (minimal satu generasi) telah mencapai tumbuh seimbang yang diperkirakan akan dicapai pada tahun 2050 dengan jumlah penduduk 293 juta jiwa.