Minggu, Maret 16, 2008

Implikasi Proyeksi Penduduk Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan

Bagian Terakhir Dari Dua Tulisan

Ada dua pandangan yang berbeda mengenai pengaruh penduduk pada pembangunan.

Pertama, adalah pandangan pesimis yang berpendapat bahwa penduduk (pertumbuhan yang pesat) dapat mengantarkan dan mendorong terjadinya pengurasan sumber daya, kekurangan tabungan, kerusakan lingkungan, kehancuran ekologis yang kemudian dapat memunculkan masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan , keterbelakangan dan kelaparan (Ehrlich, 1981).

Kedua, adalah pandangan optimis yang berpendapat bahwa penduduk adalah asset yang memungkinkan untuk mendorong pengembangan ekonomi dan promosi inovasi teknologi dan institusional (Simon, Schumpeter, 1990) sehingga dapat mendorong perbaikan kondisi sosial. Kedua pandangan tersebut muncul sampai dengan tahun 1970 an.

Di kalangan pakar pembangunan telah ada konsensus bahwa laju pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak hanya berdampak buruk terhadap suplai bahan pangan, namun juga semakin membuat kendala bagi pengembangan tabungan, cadangan devisa, dan sumberdaya manusia (Meier, 1995). Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pertumbuhan penduduk yang tinggi akan memperlambat pembangunan.

Pertama, akan mempersulit pilihan antara meningkatkan konsumsi saat ini dan investasi yang dibutuhkan untuk membuat konsumsi di masa mendatang semakin tinggi.

Kedua, di negara-negara yang penduduknya tergantung pada sektor pertanian, pertumbuhan penduduk mengancam keseimbangan antara sumberdaya alam yang langka dan penduduk. Sebagian karena pertumbuhan penduduk memperlambat perpindahan penduduk dari sektor pertanian yang rendah produktivitasnya ke sektor pertanian modern dan pekerjaan modern lainnya.

Ketiga, semakin sulit melakukan perubahan yang dibutuhkan untuk meningkatkan perubahan ekonomi dan sosial. Tingginya kelahiran merupakan penyumbang utama bagi pertumbuhan kota yang cepat dan bermekarnya kota membawa masalah-masalah baru dalam menata maupun mempertahankan kesejahteraan warga kota.

Kajian Okita dan Kureda (1981) yang berusaha mengupas perubahan demografis (transisi) dan dampaknya terhadap pembangunan, khususnya pertumbuhan ekonomi, menunjukkan bahwa perubahan struktur penduduk usia kerja di Jepang, sebagai akibat pesatnya pertumbuhan penduduk berpengaruh pada perluasan kapasitas produksi per kapita dan mempunyai kontribusi cukup penting pada pertumbuhan ekonomi.

Hanya sedikit bukti yang menunjukkan bahwa perubahan demografis dapat menyebabkan kemiskinan. Tetapi diakui bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat dapat berimplikasi negatif pada pertumbuhan ekonomi dan upah serta kemiskinan jika tidak dibarengi oleh program pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar bagi publik.

Dan dari telaahan terhadap beberapa penelitian menjelang tahun 2000, diperoleh kesimpulan bahwa (1) pertumbuhan penduduk mempunyai hubungan kuat-negatif dan signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi, (2) penurunan pesat dari fertilitas memberikan kontribusi relevan terhadap penurunan kemiskinan. Penemuan baru ini memberikan kesan yang amat kuat, dibanding sebelumnya, bahwa fertilitas tinggi di negara berkembang selama ini ternyata merupakan salah satu sebab dari kemiskinan yang terus menerus, baik pada tingkat keluarga ataupun pada tingkat makro (Birdsal dan Sanding, 2001 dalam Sri Moertiningsih, 2005).

Berdasarkan temuan serta hasil proyeksi penduduk Indonesia yang memperlihatkan bahwa laju pertumbuhan penduduk yang pada tahun 2005 sebesar 1,29% akan menurun menjadi 1,21 % pada tahun 2010 dan seterusnya konsisten mengalami penurunan hingga 0,82% pada tahun 2025, maka kita berharap secara konsisten pula tingkat kemiskinan di Indonesia akan semakin menurun. Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh menurunnya mortalitas akan memicu pertumbuhan, sedangkan yang disebabkan oleh peningkatan fertilitas akan menekan pertumbuhan ekonomi.

Namun hasil proyeksi yang sama menunjukkan bahwa proporsi penduduk usia kerja (15-64) relatif konstan yaitu 67% pada tahun 2005 berubah sedikit menjadi 68% pada tahun 2025, padahal proporsi penduduk usia kerja yang besar diharapkan menjadi sumber angkatan kerja yang produktif dan berkemampuan menabung tinggi dibanding penduduk muda (di bawah 15 tahun) dan penduduk tua (di atas 65 tahun) atau yang digolongkan bukan usia kerja.

Dengan pertumbuhan angkatan kerja Indonesia yang diperkirakan tetap tinggi (di atas 3%) hingga tahun 2025 maka tentu sangat berpengaruh terhadap tingkat pengangguran, mengingat penciptaan kesempatan kerja yang tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan angkatan kerja akibat laju pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan agak melambat.

Hal ini disebabkan oleh karena sumber-sumber pertumbuhan yang makin terbatas (sumber daya alam) serta kapasitas sumberdaya manusia yang tidak bisa dipacu dalam jangka pendek serta faktor teknologi dan inovasi yang juga terkendala karena Indonesia condong sebagai pengguna daripada pencipta teknologi. Terlebih jika dikaitkan dengan struktur umur penduduk Indonesia yang masih tergolong muda yang juga pada umur-umur muda (15-24) dari data yang ada memperlihatkan tingkat pengangguran yang lebih tinggi ( 14%) daripada umur di atas 25 tahun (4%).

Pandangan Lembaga Survai Internasional Tentang Perekonomian Indonesia 2050

Pada akhir 2005, Goldman Sach kembali melahirkan makalah dengan memperkenalkan istilah baru, yaitu negara-negara yang tergabung dalam N-11 (Next Eleven), yaitu kumpulan negara dengan jumlah penduduk besar di dunia dan berpotensi besar di belakang BRICs (Brasil, Rusia India dan Cina). Kelompok N-11 ini ialah Banglades, Mesir, Indonesia, Iran, Korea, Meksiko, Nigeria, Pakistan, Filipina, Turki, dan Vietnam. Kelompok itu memang mendapat perhatian dari berbagai khalayak.

Bahkan Pricewaterhousecoopers, sebuah kantor akuntan terbesar di dunia, melalui Chief Economist-nya di London, membuat prediksi berjudul The World in 2050 pada Maret 2006. Makalah itu secara khusus menyoroti kelompok khusus yang disebut E-7, The Emerging Seven,

yaitu negara berkembang kelompok tujuh, terdiri dari China, India, Brasil, Rusia, yang termasuk

BRICs, ditambah Indonesia, Meksiko, dan Turki yang kebetulan termasuk kelompok N-11. Kelompok E-7 ini diprediksikan akan melampaui kekuatan ekonomi negara-negara adidaya yang tergabung dalam G-7 pada tahun 2050. Namun, yang menarik adalah adanya hampir kesamaankedua makalah itu mengenai Indonesia.

Dalam tulisan terbaru "N-11: More Than an Acronym", (Global Economics Paper No 153, Maret

28, 2007), Goldman Sach membuat suatu prediksi perekonomian global pada tahun 2050. Dalam makalah itu Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan nomor tujuh di dunia setelah China, AS, India, Brasil, Meksiko, dan Rusia.

Prediksi mirip makalah The World in 2050 yang disiapkan Pricewaterhousecoopers, yang menempatkan Indonesia pada kekuatan nomor enam setelah AS, China, India, Jepang, dan Brasil. Dari kedua tulisan itu menarik disimak bahwa urutan enam besar perekonomian dunia bisa berbeda, tetapi urutan Indonesia keenam atau ketujuh relatif tidak banyak berbeda.

Pada tahun 2025, Goldman Sach memprediksi perekonomian Indonesia akan sebesar di antara

Kanada dan Turki. Dalam hal ini, PDB Indonesia akan menempati urutan ke-14, Kanada berada

di atasnya urutan ke-13. Dua puluh lima tahun kemudian, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ketujuh perekonomian dunia, melampaui Jepang, Inggris, Jerman, Nigeria, Perancis, Korea, dan Turki. Apakah prediksi itu memiliki alasan kuat?

Goldman Sach menggunakan tahun 2006 sebagai tahun dasar. Seberapa akurat data yang digunakan dibandingkan dengan data resmi yang dipublikasikan? Sebagai catatan, Goldman Sach juga menggunakan data ofisial, meski untuk tahun 2006 masih menggunakan angka prediksi.

Ternyata data tahun 2006 yang kita miliki menunjukkan perkembangan yang lebih cepat dibandingkan dengan data Goldman Sach. Total PDB, misalnya, mencapai angka sekitar 366 miliar dollar AS dibandingkan dengan prediksi Goldman Sach sebesar 350 miliar dollar AS. Dengan angka lebih tinggi itu, pendapatan per kapita penduduk Indonesia mencapai 1.663 dollar AS tahun 2006, sedangkan menurut data Goldman Sach sebesar 1.508 dollar AS. Selain angka PDB, perbedaan angka pendapatan per kapita juga disebabkan jumlah penduduk yang menurut Goldman Sach sebesar 232 juta penduduk, lebih besar daripada angka sebenarnya.

Dengan perbedaan angka dasar itu, bisa dimengerti jika prediksi PDB Indonesia pada tahun 2010 akan mencapai 419 miliar dollar AS, sementara prediksi yang saya buat cukup konservatif pun menghasilkan angka sekitar 550 miliar dollar AS. Dengan prediksi semacam itu, bisa dimengerti mengapa prediksi Goldman Sach tentang Indonesia menjadi sedikit lebih rendah dibandingkan dengan prediksi yang dilakukan Pricewaterhousecooper.

Table A: Projected real growth in GDP and income per capita: 2005-50 (%pa)








Country

GDP in US $ Term

GDP in domestic currency or at PPPs

Population

GDP per capita at PPPs



India

7.6

5.2

0.8

4.3


Indonesia

7.3

4.8

0.6

4.2


China

6.3

3.9

0.1

3.8


Turkey

5.6

4.2

0.7

3.4


Brazil

5.4

3.9

0.7

3.2


Mexico

4.8

3.9

0.6

3.3


Russia

4.6

2.7

-0.5

3.3


S. Korea

3.3

2.4

-0.1

2.6


Canada

2.6

2.6

0.6

1.9


Australia

2.6

2.7

0.7

2


US

2.4

2.4

0.6

1.8


Spain

2.3

2.2

0

2.2


UK

1.9

2.2

0.3

2


France

1.9

2.2

0.1

2.1


Italy

1.5

1.6

-0.3

1.9


Germany

1.5

1.8

-0.1

1.9


Japan

1.2

1.6

-0.3

1.9


Source: PricewaterhouseCoopers GDP growth estimates (rounded to nearest 0.1%), population growth projections from the UN

Bagi yang skeptis, prediksi ini bisa dianggap membuang-buang waktu. Meskipun demikian, mengingat nama besar kedua institusi itu, rasanya kita perlu melihat secara lebih jernih apa yang mereka lakukan dengan apa yang sudah terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Tampaknya, apa yang dimunculkan kedua institusi itu kian menemukan bentuknya dalam "The World in 2007" (Economist edisi Desember 2006). Dalam edisi itu disebutkan ada 66 negara yang memiliki perekonomian terbesar di dunia, dengan data cukup rinci. Dalam daftar itu, Indonesia ada pada urutan ke-21 dengan menggunakan nilai tukar pasar (market exchange rate, bukan dengan PPP rate). Dibandingkan dengan data 2004, Indonesia masih di urutan ke-25-26 bersama Arab Saudi.

Dalam artikel itu disebutkan, PDB Arab Saudi tetap di urutan ke-26 meski terjadi kenaikan amat tinggi harga minyak bumi. Indonesia dalam tiga tahun telah dan akan melampaui Austria, Norwegia, Turki, dan Polandia. Tahun ini diprediksi PDB Indonesia akan mencapai sekitar 410 miliar dollar AS. Ini bisa membawa Indonesia pada urutan ke-20, melampaui Taiwan. Pada tahun 2010, seperti dikemukakan sebelumnya, Indonesia akan melampaui Swiss, Swedia, dan Belgia, dengan total PDB sekitar 550 miliar dollar AS. Jika ini terjadi, posisi ke-14 sebagaimana prediksi Goldman Sach tahun 2025, bukan tidak mungkin akan terlampaui bahkan sebelum akhir tahun 2020.

Semoga mimpi ini akan membawa kemakmuran lebih besar bagi penduduk Indonesia tanpa

terkecuali.

Tidak ada komentar: